Syaikh Syu’aib al-Arnauth, Seorang Peneliti dan Ahli Hadits
Baru-baru ini, dunia Islam berduka, kehilangan salah seorang putra terbaiknya di zaman ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth. Beliau adalah seorang peneliti hadits yang produktif. Setidaknya, ada 240 buku yang sudah ia tahqiq (kaji dan teliti riwayat-riwayatnya). Pada tanggal 26 Muharam 1438 H bertepatan dengan 27 Oktober 2016, ulama ahli hadits ini meninggal. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang yang berilmu, orang-orang akan menjadikan orang-orang tidak berpengetahuan sebagai pemimpin. Kemudian mereka ditanya, mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mengenal Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Namanya adalah Syu’aib bin Muharram al-Arnauth. Al-Arnauth adalah sebutan untuk salah satu kabilah di Albania. Keluarganya hijrah dari Albani menuju Damaskus pada tahun 1926. Sejak saat itu, mereka tinggal di wilayah Syam itu. Mereka memilih tanah Syam, karena ayahnya tahu keutamaan Syam dan penduduknya. Ayah Syaikh Syu’aib adalah seorang yang mencintai ulama. Ia juga senang sekali bersahabat bersama para ahli ilmu.
Syaikh Syu’aib al-Arnauth lahir di Damaskus pada tahun 1928. Ia tumbuh besar di bawah bimbingan sang ayah. Ayahnya mengajarinya pondasi-pondasi keislaman. Dan membimbingnya menghafal sejumlah juz Alquran. Keakrabannya dengan Alquran sedari kecil membuatnya bersemangat memahami makna-makna Alquran secara mendalam. Keingin-tahuannya itu menjadi sebab utama yang memotivasinya untuk belajar bahasa Arab di usia yang masih belia. Ia menyibukkan diri di masjid. Mencari majelis-majelis bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuannya. Seperti: Sharf, sastra, Balaghah, dll.
Sebagian ulama, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, dll. ibu mereka begitu besar pengaruhnya dalam pertumbuhan keshalehan dan keilmuan mereka. Ada pula yang bapak-bapak merekalah yang dicatat dalam biografi mereka sebagai orang yang berpengaruh dalam keilmuannya.
Belajar dari Para Ulama
Syaikh al-Arnauth muda mulai serius menekuni bahasa Arab. Ia datangi para ustadz dan ulama ahli bahasa Arab di Kota Damaskus. Di antaranya: Syaikh Shaleh al-Farfur, Syaikh Arif ad-Duwaiji –yang merupakan murid dari Syaikh Badruddin al-Husna-, dll. Bersama guru-gurunya itu, Syaikh al-Arnauth mempelajari buku-buku rujukan utama ilmu bahasa Arab dan balaghah. Seperti: Syarah Ibnu Aqil, Kifayah karya Ibnu Hajib, al-Mufashshal karya Zamakhsyary, Syudzur adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, Asrar al-Balaghah, dan Dala-il al-I’jaz karya Jurnany.
Guru-gurunya yang lain adalah Syaikh Sulaiman al-Ghawaji al-Albani, seorang ulama yang mensyarah al-‘Awamil karya al-Baruky, al-Izh-har karya al-Athahly, dll.
Setelah membekali diri dengan kemampuan yang mumpuni dalam bahasa Arab, Syu’aib al-Arnauth mulai mempelajari ilmu Fikih, terutama kajian fikih Madzhab Hanafi. Dalam fan ini, ia pun memiliki banyak guru yang mengajarkannya banyak buku. Buku-buku Madzhab Hanafi yang ia kaji adalah Muraqi al-Falah karya asy-Syarnabilaly, al-Ikhtiyar karya al-Maushuly, al-Kitab karya al-Qadury, dan Hasyiyah Ibnu Abidin.
Selama 7 tahun, ia tenggelamkan dirinya dalam kajian-kajian fikih. Kemudian ia mempelajari Ushul Fiqh, Tafsir Alquran, Musthalah al-Hadits, dan buku-buku akhlak. Saat itu usia beliau sudah lebih dari 30 tahun.
Menjadi Peneliti Hadits (Muhaqqiq)
Saat mempelajari fikih, Syaikh al-Arnauth rahimahullah bersentuhan dengan status sebuah hadits, shahih atau tidak. Hal ini memotivasinya untuk meneliti buku-buku fikih yang muatan materinya adalah hadits. Ia memfokuskan diri pada penelitian tersebut. Sampai akhirnya, ia menjadi spesialis dalam kajian ini. Cabang keilmuan yang baru ia tekuni ini bukanlah permasalahan ringan. Butuh waktu yang luas dan fokus yang luar biasa. Karena itu, sejak tahun 1955, ia meninggalkan pengkajian bahasa Arab. Mulailah ia menghabiskan waktunya untuk meneliti warisan Islam.
Pada tahun 1982, Syaikh al-Arnauth pindah ke Omman. Di tempat baru ini, ia menjalin kerja sama dengan percetakan Muassasah ar-Risalah. Di percetakan ini, keahliannya makin terasah. Ia mengeluarkan usaha terbaik berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin dengan meneliti warisan peradaban Islam.
Rujuk ke Aqidah Salaf
Dalam sebuah rekaman, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menceritakan sedikit fase kehidupan ke-agama-annya. Syaikh ditanya, “Wahai Syaikh, -segala puji bagi Allah- Anda berakidah salaf.” “Insya Allah,” jawab Syaikh Syu’aib. Penanya melanjutkan, “Tapi, di tempat kami ada Madrasah Asy’ariyah yang mengatakan Anda adalah seorang Asy‘ari. Dan ahli hadits dari kalangan Asy‘ari. Kami ingin mendengar langsung dari Anda.”
Syaikh Syu’aib menjawab, “Tidak, demi Allah. Pada awal perjalanan hidupku, guru-guruku berakidah Maturidiyah. Namun, saat aku mulai menulis, ku temukan sebuah buku yang berjudul Aqawil ats-Tsiqat fi Itsbati al-Asma wa ash-Shifat karya Mar’i bin Yusuf al-Karmi. Dalam buku tersebut terdapat pembelaan terhadap Madzha as-Salaf, dan inilah yang aku yakini sekarang. Madzhab as-Salaf lebih selamat dan lebih berlandaskan ilmu. Dalam masalah sifat Allah, kita harus menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya. Tanpa tasybih (menyerupakan) dan juga ta’thil (mengingkari). Kita tidak boleh menyamakan Allah (dengan sesuatu) dan mengingkari sifat-Nya. Dan saya meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu tidak mampu dijangkau akal. Setiap malam, Allah Rabbul ‘alamin turun ke langit dunia. Ini terdapat dalam hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kita harus beriman Allah turun, tapi kita tidak mengetahui bagaimana tata cara turun-Nya.”
Murid-Muridnya
Syaikh Syu’aib al-Arnauth memiliki murid yang banyak. Di antaranya: Muhammad Na’im al-‘Arqasusi, Ibrahim az-Zaibeq, Adil Mursyid, Umar Hasan al-Qayyam, Abdul Lathif Hirazullah, Ahmad Barhum, Ridwan al-‘Arqasusi, dan Kamil Qurah Bilali.
Syaikh al-Arnauth memiliki perhatian besar terhadap kemampuan ilmiah murid-muridnya. Ia langsung memberikan beban penelitian kepada mereka yang telah ia akui kredibilitasnya. Metode dan gaya tahqiq hadits yang dilakukan oleh murid-murid Syaikh al-Arnauth sangat mirip dengan gurunya. Demikianlah memang, tradisi keilmuan seseorang akan terjaga dengan banyaknya murid. Sebagaimana madzhab yang empat, tetap terjaga hingga kini karena murid-murid empat imam tersebut mencatat, membukukan, dan mendakwahkan metodologi kajian fikih mereka. Sedangkan madzhab-madzhab fikih yang lain hilang, karena tidak ada yang mewariskan.
Syaikh Na’im al-‘Arqasusi berkata dalam pengantar tahqiq kitab Taudhih al-Musytabah karya Ibnu nashiruddin, “Kuucapkan terima kasih yang besar terkhusus kepada dia, yang bukan kalau karena perhatian dan bimbingannya, aku tidak mampu meneliti warisan-warisan Islam. Kepada dia yang pantas mendapatkan pernghormatan. Seorang yang mulia, yang terhormat guruku, Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah.”
Syaikh Ibrahim az-Zaibeq juga mengucapkan terima kasihnya kepada sang guru yang begitu berpengaruh pada keilmuannya. Ia mengucapkan terima kasihnya di pengantar tahqiq kitab Thabaqat Ulama al-Hadits karya Ibnu Abdul Hadi, “Selanjutnya.. apakah cukup kalimat syukur kupersembahkan kepada guruku syaikh-ku, Syu’aib al-Arnauth? Apakah cukup kalimat pujian dariku yang kutulis untuknya dengan penuh cinta yang tulus? Sungguh jasanya terhadapku lebih luas dari rasa terima kasih dan lebih mulia dari pujian. Sesungguhnya dia membukakan mataku tentang hakikat kehidupan. Aku mengalami perjalananku dengan pikiran yang tertunduk dan hati yang rendah, ia menjadikan hari-hariku menjadi tahun yang penuh arti dan berharga. Kemudian ia menggandeng tanganku memasuki dunia tahqiq… …Untukmu wahai guruku, terima kasih yang lebih luas dari terima kasih itu sendiri, pujian yang lebih agung dari pujian itu sendiri. Dan Allah yang menjadi penolongku membalasmu dengan sebaik-baik balasan.”
Alangkah indahnya penghormatan sang murid kepada gurunya ini.
Syaikh Umar Hasan al-Qayyam mengatakan dalam pengantar tahqiq-nya terhadap Risalah Ibnu Rajab al-Hanbali, “Dia memotivasiku untuk menempuh jalan ini, guruku al-muhaddits al-‘alamah Syu’aib al-Arnauth, salah seorang pakar hadits di masa sekarang ini.”
Hubungan Syaikh Syu’aib al-Arnauth dengan murid-muridnya layaknya hubungan pertemanan. Ia dekat dengan murid-muridnya. Memiliki semangat besar agar murid-muridnya mendapatkan kebaikan. Ia tidak memaksakan pendapatnya kepada murid-muridnya. Ia senang jika murid-muridnya memiliki keilmuan yang mandiri. Tidak jarang ia mengajak murid-muridnya berdiskusi dan bertukar pikiran. Hal inilah yang memiliki pengaruh luar biasa dalam perkembangan keilmiahan murid-muridnya.
Karya-Karya Penelitiannya
Buku-buku yang diteliti oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth tidak kurang dari 240 judul buku. Terdiri dari buku-buku hadits, fikih, tafsir Alquran, tarajim, akidah, mushthalah al-hadits, adab, dll.
Di antara buku yang ia teliti adalah:
Diterbitkan oleh Maktab al-Islami:Syarhu as-Sunnah karya al-Baghawi berjumlah 16 jilid,
Raudhatu ath-Thalibin karya an-Nawawi. Penelitian bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 12 jilid.
Muhadzdzab al-Aghani karya Ibnu Manzhur berjumlah 12 jilid.
Al-Mubdi’ fi Syarhi al-Muqni’ karya Ibnu Muflih al-Hanbali berjumlah 10 jilid.
Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir karya Ibnu al-Jauzi. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 6 jilid.
Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatu al-Muntaha karya ar-Ruhaibani. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 6 jilid.
Al-Kafi fi Fiqhi al-Imam al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal karya Ibnu Qudamah. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 3 jilid.
Manaru as-Sabil fi Syarhi ad-Dalil karya Ibnu Dhuyan. Teridir dari 2 jilid.
Al-Manazil wa ad-Diyar karya Usamah bin Munqidz. Terdiri dari dua jilid.
Musnad Abu Bakar karya al-Marwazi. Terdiri dari dua jilid.

Siyar-Alam-an-Nubala, salah satu judul buku yang riwayatnya satu per satu diteliti oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth rahimahullah.
Diterbitkan oleh Muassasah ar-Risalah:Siyar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi. Terdiri dari 20 jilid.
Al-Ihsan fi Tarqrib Shahih Ibnu Hibban yang disusun oleh al-Amir Alaunddin al-Farisi. Terdiri dari 18 jilid.
Sunan an-Nasai al-Kubra. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Teridir dari 12 jilid.
Al-‘Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzabbi ‘an Sunnati Abi al-Qasim karya Ibnu al-Wazir.
Sunan at-Turmudzi. Terdiri dari 6 jilid.
Sunan ad-Daruquthni. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Terdiri dari 5 jilid.
Zaad al-Ma’ad fi Hadyi Khoiri al-‘Ibad karya Ibnul Qayyim. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 5 jilid.
Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar ‘Iwadh Ma’ruf. Syaikh al-Arnauth meneliti 4 jilid.
At-Ta’liq al-Mumajjad Syarh Muwaththa Muhammad karya Abu al-Hasanat al-Lakuni. Terdiri dari 4 jilid.
Musnad al-Imam Ahmad terdiri dari 5 jilid.
Al-Adab asy-Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah karya Ibnu Muflih al-Hanbali. Penelitian ini bekerja sama dengan Umar Hasan al-Qayyam. Terdiri dari 4 jilid.
Thabaqat al-Qurra’. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar Ma’ruf. Terdiri dari 2 jilid.
Mawarid azh-Zham-an bi Zawa-id Shahih Ibnu Hibban karya al-Hasyimi. Penelitian ini bekerja sama dengan Ridhwan al-‘Arqasusi. Terdiri dari 2 jilid.
Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibn Abi al-Iz. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Abdullah at-Turki. Terdiri dari 2 jilid.
Riyadhush Shalihin karya an-Nawawi. Teridir dari 2 jilid.
Al-Marasil karya Abu Dawud. Terdiri dari 2 jilid.
Dua Ulama al-Aranauth
Selain Syaikh Syu’aib, ada lagi ulama lain yang berlaqob al-Arnauth, yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Namun keduanya bukanlah saudara kandung. Keduanya memiliki kesamaan dari sisi:
Pertama: memiliki laqob al-Arnauth. Al-Arnauth sendiri laqob yang diberikan kepada orang-orang Balkan yang berasal dari al-Albani. Syaikh Abdul Qadir lahir di wilayah Kosovo, sedangkan Syaikh Su’aib berasal dari Albania.
Kedua: keduanya adalah ulama ahli tahqiq yang bekerja sama dengan al-Maktab al-Islami. Ada buku-buku yang mereka teliti bersama.
Porsi dakwah Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth lebih besar pada ceramah dan mengajar. Sedangkan Syaikh Syu’aib al-Arnauth lebih memfokuskan diri dalam meneliti warisan-warisan Islam.
Wafatnya Sang Ahli Tahqiq
Syaikh Syu’aib al-Arnauth wafat pada hari Kamis 26 Muharram 1438 H bertepatan dengan 27 Oktober 2016. Beliau wafat di wilayah Yordania pada usia 88 tahun. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.
Rujukan:
Buku al-Muhaddits Syu’aib al-Arnauth, Jawanib min Siratihi wa Juhudihi fi Tahqiq at-Turats oleh Dr. Ibrahim al-Kufihi. Dicetak oleh Dar al-Basyidr, Oman. Cetakan pertama. Tahun 1423 H/2002 M.
Sebagian besar isi tulisan merupakan terjemah dari http://islamstory.com/ar/%D8%B4%D8%B9%D9%8A%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B1%D9%86%D8%A4%D9%88%D8%B7
Nama dan nasabnya
Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam. [1]
Bapaknya dan hijrahnya ke Syam
Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana.
Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97)
Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2]
Kelahirannya dan pertumbuhannya
Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan,
رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم.
“Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3]
Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini.
Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4]
Menuntut ilmu dan guru-gurunya
Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5]
Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya.
Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6]
Kesibukan dalam meneliti
Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam.
Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7]
Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya.
Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8]
Karyanya dalam penelitian
Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya.
Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah:
Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami.
Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid.
Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh.
Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah.
Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9]
Wafatnya
Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M).
Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10]
Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth
Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah.
Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11]
Hubungannya dengan Syekh Al-Albani
Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi.
Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12]
Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan,
والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ.
“Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13]
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu.
***
Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: Muslim.or.id
Referensi utama:
Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.
Catatan kaki:
[2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19.
[3] ibid. hal. 23.
[4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/
[5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24.
[7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/
[8] ibid.
[9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228.
[11] ibid.
[12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17.
[13] ibid. hal. 119.
Copyright © 2025 muslim.or.id
No comments:
Post a Comment